Sabtu, 16 Februari 2013

Dibalik diammu Ayah


            Saat Aku terlahir didunia ini, Aku belum bisa melihatmu. Aku belum bisa melihat senyummu, Aku belum bisa mendengar suaramu, bahkan Aku tak mengenalmu. Yang bisa Aku rasakan adalah dekap dari seorang yang begitu erat memelukku, dan mengecup keningku. Aku begitu nyaman didekapannya. Dan Akupun merasakan kenyamanan di dekat mereka, mereka begitu memanjakanku. Saat usiaku satu bulan, Aku bisa melihat mereka. Mereka begitu cantik dan gagah, tapi Aku belum mengenalinya. Senyum mereka begitu tulus, mereka selalu ceria dihadapanku. Setiap Aku menangis, mereka selalu menggendongku bahkan mendekapku dengan begitu lembut. Tapi kali inipun Aku masih belum mengenalnya, yang Aku tau adalah mereka begitu baik kepadaku dan tulus menyayangiku. Aku masih heran kepada mereka, kenapa mereka begitu menyayangiku. Saat Aku dipangkuannya, wanita itu selalu tersenyum sambil mengelus-ngelus keningku. Aku tersenyum kepada wanita itu, wanita itu begitu cantik. Hingga akhirnya mereka berdua memberi nama yang begitu cantik untukku Raisya Alisa Putri. Itu namaku, kedua orang itu selalu membicara kepadaku sambil mengajariku bicara.
            “Raisya...Raisya ini Ayah..ini Ibu..” Kata laki-laki yang tegap itu, dia begitu gagah. Dan saat itupun Aku masih tetap belum mengerti apa itu Ayah & Ibu.
            Hingga suatu saat Aku sadar, ketika Aku sakit saat usiaku berumur dua tahun setengah. Aku menangis saat itu. Dan ternyata ada yang menangis juga selain Aku, perempuan yang setiap harinya menyuapiku, mengurusku, dia menangis juga. Ternyata Aku baru mengerti siapa itu Ibu dan Ayah. Kala itu Ibu begitu resah melihat keadaanku, badanku demam dan suhu badanku begitu tinggi. Ibu menangis, Ibu tak tega melihatku. Bahkan saat Ibu mengusap keningku Ibu berbicara seperti ini kepadaku.
            “De..Biar Ibu saja yang menggantikanmu sedang sakit...” Kata Ibuku sambil menangis. Dan Aku hanya menangis, Ayah saat itu hanya memberiku segelas madu. Aku dipeluk Ayah.
            Saat itu usiaku menginjak lima tahun, Aku masuk taman kanak-kanak. Aku bersekolah di TK Al-Hidayah, TK Islam. Setiap harinya Aku selalu di jemput oleh pembantuku. Saat itu memang musimnya hujan, Aku selalu ingin hujan-hujanan sama teman-teman tapi Ibu melarangku untuk hujan-hujanan katanya nanti kamu sakit. Ayah hanya tersenyum melihat Aku menangis.
            Saat Aku menangis, Ayah hanya menggendongku dan membawaku ke dekat jendela kaca. Lalu Ayah malah berkata seperti ini.
            “Sayang..nanti kalo besar kamu boleh main hujan-hujanan, kalo sekarang jangan ya. Nanti Raisya sakit, kalo sakit nanti gak sekolah.” Ayah malah berkata seperti itu, dan Ayah malah bercerita untukku. Aku memang sejak dari kecil paling suka mendengarkan cerita.
            Hingga usiaku kini sudah sepuluh tahun, Aku sudah masuk SD di SDN Kadipaten VII bersama Ayah. Sekarang Aku sudah kelas dua SD, Aku sudah besar. Aku sudah mengaji di madrasah. Sehabis pulang sekolah Aku pulang dan berganti kostum, karena Aku harus mengaji di Madrasah Nurul Huda. Dan biasanya Aku pulang sore, ketika Aku pulang sore Aku merebahkan tubuhku di atas sofa. Dan masakan Ibu ketika itu sudah tercium baunya. Akupun menemui Ibu yang sedang memasak di dapur.
            “Bu, Ayah belum pulang?” Alisku sedikit mengkerut, karena Aku kesal kenapa jam segitu Ayah masih belum pulang.
            “Iya belum, sana mandi. Biar nanti kalo Ayah udah pulang Raisya udah mandi.” Timpas Ibu kepada Raisya. Dan Raisya pun mandi.
            Hingga akhirnya kini Aku sudah masuk SMA, di SMAN 1 Majalengka, saat MOPD Ayah banyak membantuku. Aku masih ingat, Ayah membantuku sampai jam 01:00 malam. Ayah memang begitu baik, Ibupun sama. Setiap paginya Ibu selalu memasakkan Aku Nabotek. Nabotek itu, nasi, abon, telor, kecap. Ibu juga tidak kalah baik dengan Ayah, malahan Ibu yang begitu semangat membantuku.
            Saat ulang tahunku yang ke 17 tahun, Aku begitu banyak bersyukur kepada-Nya. Aku berterima kasih kepada-Nya telah memberiku kebahagiaan yang begitu berlimpah. Mempunyai keluarga seharmonis ini, sahabat yang begitu baik dan tentunya pacar yang begitu baik. Saat malam itu Ibu, kedua adikku dan ke dua sahabatku membuat kejutan. Mereka memberi Aku kue bolu ulang tahun dengan angkat 17 di atas kue ulang tahunnya. Aku begitu bersyukur.
            Tapi saat itu Aku masih terheran, ketika Ayah mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Ayah hanya memelukku dan mencium keningku lalu mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Tidak seperti Ibu kepadaku, dia tidak mengucapkan kata-kata bahwa “Aku menyayangimu nak” Ayah tidak seperti ibu, memang Ayah memang pendiam dan tidak banyak bicara. Tapi Ayahku begitu bijaksana dan begitu baik kepada anak-anaknya.
            Kali ini, Aku berdiam diri dikamar. Aku menangis saat ini, Aku baru sadar ternyata Ayah begitu baik kepadaku, Ayah begitu perhatian kepadaku. Kali ini Ayah jatuh sakit, mungkin karena Ayah kecapean. Ayah memang pekerja keras orangnya, setiap hari Ayah selalu pulang sore. Aku mengingat-ingat lagi kasih sayang Ayah yang telah dia berikan selama ini kepadaku.
            Ya Aku masih ingat, ketika usiaku dua tahun setengah Aku jatuh sakit usia saat itu memang sangat rentan sakit. Aku menangis, Ibu menangis dan Ayah entah tau kemana tidak menemaniku. Ternyata Ayah sedang berdo’a dengan membawa segelas madu untukku, Ayah berdo’a untuk kesembuhanku. Air mataku pelan-pelan jatuh membasahi pipiku.
            Lalu Aku masih ingat saat Ayah menggendongku melihat hujan, dengan itu Ayah mengajariku tentang keberanian. Ayah memang begitu mencintaiku, Akupun masih ingat ketika Ayah pulang sore setiap harinya. Mata Ayah begitu lelah, dan muka Ayah begitu lusuh tapi Ayah masih bisa tersenyum menampakkan wajahnya. Lalu yang Aku masih ingat adalah, ketika Ayah melarangku untuk berpacaran. Ya, kini Aku tau Ayah ternyata cemburu melihat Anaknya bisa dekat dengan laki-laki lain. Ya Tuhan, berarti benar Ayah begitu mencintaiku walaupun Ayah jarang mengucapkannya padaku. Apa yang harus Aku ragukan lagi, Aku langsung menemui Ayah yang sedang terbaring sakit. Aku memeluk Ayah dan menangis.
            “Ayah..Aku baru menyadari semua ini, Ayah Raisya sayang sama Ayah.” Aku memeluk erat Ayah.
            “Ayah juga Nak..Ayah begitu menyayangi kalian, maaf bila Ayah jarang mengutarakan hal ini.” Jawab Ayah.
            Itulah keistimewaan dari seorang Ayah, kata siapa Ayah tidak mencintai anak seperti Ibu mencintai anaknya. Ayahpun sama seperti Ibu, dia begitu menyayangi kita. Namun yang membedakan dari semua ini adalah, Ayah begitu sulit untuk mengutarakan hal seperti ini kepada kita sebagai anak-anaknya. Tidak seperti Ibu, Ibu selalu memperlihatkan dan mengutarakan cinta dan kasihnya kepada kita. Tapi yang pasti mereka berdua adalah kedua malaikat yang dikirimkan oleh Tuhan untuk menjaga dan merawat kita di dunia ini. Kita harus menyangi dan mencintai kedua malaikat tak bersayap ini, Aku baru sadar ternyata Aku menemukan beribu-ribu cinta dibalik diammu Ayah.



0 komentar: