Dulu....
dan Sekarang Terasa Berbeda....
Dulu ketika Ayah masih
bersama kami, hidupku lumayan berkecukupan. Dengan rumah kokoh walau tidak
besar dan tentunya keluarga yang harmonis. Aku selalu bersyukur pada Tuhan,
bahkan aku mempunyai adik yang baik.
Namaku Doni, jika dihitung
usiaku duabelas tahun. Aku duduk dibangku kelas enam SD. Tinggiku 145 cm,
dengan rambut sedikit ikal dan kulit sawo matang. Hidungku tidak terlalu pesek
dan tidak terlalu mancung juga. Akupun mempunyai adik perempuan yang sangat cantik,
namanya Rere. Dia berusia sepuluh tahun, tinggi badannya 125 cm dan rambut yang
sangat lurus sebahu. Dia sangat cantik seperti Ibu.
Lalu akupun mempunyai
Ayah, Ayahku sangat baik dia sangat bijaksana. Tinggi Ayah 170 cm, dengan
batang hidung yang sangat mancung lalu rambutnya ikal seperti aku, serta
kulitnya sawo matang. Ayah sangat tampan dan gagah. Tak heran jika Ibu
mencintai dan mau menikah dengan Ayah. Ibuku juga sangat cantik dan baik, usia
ibuku sekitar 35 tahun masih muda. Sedangkan Ayah sudah 40 tahun.
Dulu Ayah bekerja
sebagai penjual sembako, dipasar membuka ruko. Kadang sepulang sekolah, Aku
bersama Rere pulang ke pasar menemui Ayah dan Ibu sedang berjualan. Yang paling
Aku ingat adalah, ketika kami pulang Ayah dan Ibu selalu menyiapkan makan siang
kami yaitu Pecel lele yang mantap itu.
“Re.. pasti Ayah dan Ibu sudah
menyiapkan pecel lele itu.” (Tanyaku pada
Rere)
“Iya kak pasti..perutku
lapar dan tak sabar melahap pecel lele itu.” (Jawab Rere)
“ Ibu Ayah.. pecel lele
nya mana??.” (sambil kusimpan tasku di
bawah lantai)
“Itu dimeja, sana kamu
makan Ayah sudah belikan untukmu.” (Jawab
Ayah)
Itulah
hal yang paling ku ingat dan takkan kulupakan sampai kapanpun, ketika aku makan
bersama Rere. Ayahku kambuh, Ayahku memang sering sakit-sakitan tentang
penyakitnya yang aneh itu. Kadang aku selalu mengeluh pada Tuhan, kenapa tidak
aku saja yang merasakan kesakitan Ayah.
Jika
kumat, badan ayah pucat dari kaki hingga muka ayah bengkak dan memar kemerahan.
Ibuku panik jika Ayah sedang kumat, karena Ayah selalu meronta kesakitan.
Hingga menarik-narik baju ibu karena mungkin sakit sekali. Tidak ada yang tahu
dengan penyakit Ayah, warungpun tutup. Ayah diantarkan oleh Pak Raka untuk
pulang kerumah.
Setibanya
dirumah, Ayah semakin gelisah dan kesakitan. Apalagi Ibuku dengan Rere yang
terus menangis. Sudah berapa uang yang kami keluarkan untuk pengobatan Ayah
ini. Karena setiap dokter tidak tahu apa
yang sedang diderita oleh Ayah ini. Penyakit apa yang sedang menggerogoti tubuh
gagah Ayah.
Setibanya
dirumah sakit, Pak Dokter sudah memberitahukannya bahwa sampai ini juga dia
tidak tahu bahwa apa yang sedang terjadi dengan Ayahku. Ibu menangis, dan
memaksa untuk berusaha agar Dokter tahu apa yang ada di dalam tubuh Ayah.
Tetapi sangat disayangkan semua Dokter
tidak tahu penyakit Ayah.
Hingga
waktunya tiba, aku masih ingat. Ketika itu aku pulang sekolah, Ayah dan ibu
terlihat sangat menyayangi satu sama lain. Ibu memeluk erat Ayah yang sedang
berbaring, Ibu menjerit dan Rere menangis membelakangi Ayah. Perasaanku sudah
tak karuan sekali, hingga akhirnya aku mendekati Ayah. Dan Terlihat Ayah sudah
diam terpaku, Ayah meninggal.
Penyesalan
yang tiada hentinya kali itu, kenapa aku tidak batalkan saja Olimpiade
Matematika itu. Dan menunggu saja Ayah dirumah sakit, aku mejerit. Hingga
nafasku tersesak melihat Ayah sudah diam terpaku. Tapi aku masih ingat tentang
ucapan Ayah malam itu.
“ Doni sini nak..dekat
dengan Ayah.” (Ayah merangkulku)
“Baik Ayah...”
“Doni lihatlah kedua
bidadari kita sedang tertidur pulas, Ayah sangat menyayangi kedua bidadari itu.
Jika Ayah..” (Kupotong pembicaraan Ayah)
“Sudahlah Ayah, aku paham
aku mengerti. Tapi yakin Ayah pasti sembuh.”
“ Tidak nak.. Ayah
sudah tidak mampu untuk hidup lagi, Ayah ingin bertanya padamu.”
“Ayah..jangan berbicara
seperti itu.” (Jawab ketusku)
“Doni..jika Ayah besok
pergi selamanya, apakah kamu sanggup menjaga kedua bidadari itu.”
“Ayah..cukuplah, aku
tak sanggup untuk berpisah dengan Ayah.” (kupeluk
Ayah, sambil aku menangis)
“Tapi jika ini takdir,
apa boleh buat nak..”
“Ayah cukup.. sekarang
aku takkan melepaskan Ayah lagi, aku ingin tidur di samping Ayah. Hingga besok
pagi, ku pastikan Ayah akan bangun.”
Kali
itu Ayah hanya tersenyum, dan mencium keningku. Tak ada hal mengganjil saat
itu. Yang ada aku mengharapkan Ayah sembuh, dan bisa menjaga Ibu, Rere dan aku.
Tapi ya.. mungkin ini sudah takdir. Ayah meninggalkan kami semua, aku tidak
pernah menyesal. Karena aku yakin, Ayah akan selalu ada walau raga Ayah tidak
lagi disekitar kami.
Sepulang
dari rumah sakit, biaya perawatan Ayah cukuplah besar. Hingga pada waktu itu
Ibu menjual ruko dan rumah kami. Kami hanya tinggal dirumah kontrakan satu
petak saja. Tapi tetap ku syukuri itu, aku percaya karena bumi itu berputar dan
kehidupanpun sama.
Sekarang aku mulai
putus asa, Aku dan Rere sudah tidak sekolah lagi. Guru-guruku sangat menyayangkan
kenapa aku tidak melanjutkan sekolah ke SMP (Sekolah
Menengah Pertama) . Hingga
keputusan pendek yang Ibu pilih, ibu merantau meninggalkan kami di gubuk
kontrakan ini ke Jakarta. Entahlah pekerjaan apa yang akan ibu pilih, yang ku
harapkan adalah pekerjaan yang halal.
Sekarang, ibu
menitipkan ku kepada nenek tua yang sudah ku anggap sebagai nenek ku sendiri.
Aku dan Rere memanggil nya dengan sebutan Ambu, Ambu sangat lucu gigi nya
tinggal satu. Mungkin karena faktor usia Ambu yang sudah berusia 80 tahun,
badan Ambu bungkuk dengan banyak kerutan diwajahnya. Tapi Aku dan Rere sangat
menyayangi Ambu, karena bagaimanapun juga Ambu adalah pengganti Ibu.
Aku tinggal bersama
Rere dan Ambu digubuk bocor, setiap hujan tak aneh jika rumah gubukku dalam dan
diluar basar kena hujan. Tapi itu sudah biasa, dan aku hiraukan saja. Aku tetap
semangat menjalani kehidupan ini. Hingga akhirnya, aku masih ingat pasokan
untuk makan habis. Sedangkan Ambu sudah sering sakit, dengan semangat aku
mencari pekerjaan.
Yah.. dan aku bekerja
dipabrik kayu, lumayan sedikit-sedikit aku belajar memotong kayu. Dan sisa kayu
itu aku pinta untuk Ambu dirumah, untuk kompor hawu. Kadang Rere suka ikut
kerja dengan ku. Aku suka marah jika dia ikut ke tempat kerjaku. Upahku dari
subuh hingga sore, hanya sepuluh ribu saja. Tapi aku selalu mensyukuri itu
semua, sepulang bekerja aku belikan beras dan tempe. Dan Ambu yang menanak
nasi, terkadang jika Ambu sakit aku dan Rere yang memasaknya.
Inilah yang kurasakan
ketika Ayah dan Ibu jauh dariku, tapi dengan kejadian ini aku bisa belajar dan
mengerti bahwa untuk menjalani kehidupan itu banyak rintangan dan kehidupan itu
sangat keras. Tidak seperti kubayangkan dulu ketika Ayah masih ada, ketika Ibu
masih tinggal bersama ku dan Rere.
Aku dapat kabar dari
teman Ibu di Jakarta, bahwa ibu sekarang bekerja menjadi pembantu dirumah yang
sangat besar. Katanya Ibu bisa pulang satu tahun sekali, entahlah aku hanya
mendoakan kesehatan untuk Ibu. Supaya Ibu bisa pulang dan bersama-sama lagi
tinggal bersama Rere, Ambu dan Aku.
Memang sosok Ayah
takkan pernah kulupakan, karena bagiku Ayah segalanya. Ayah yang paling dekat
dengan ku, Ayah yang selalu memberi semangat untukku. Memberi motivasi, dan
Ayah memang inspirasiku. Dulu dan sekarang terasa berbeda.
Bersambung....
0 komentar:
Posting Komentar